Ringkasan
Khotbah : 21 Januari 2001
The
Exclusive Family
Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno
Saat
ini kita masuk dalam bagian terakhir dari Efesus 5:22-33 dimana seluruh apa
yang menjadi prinsip yang ditegakkan oleh Paulus diringkas. Dalam ay. 31 dikatakan:
“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya, dan bersatu
dengan isterinya, dan keduanya itu menjadi satu daging.” Apa yang
dimengerti dengan ini? Paulus menyebutnya sebagai satu rahasia besar yang
dibuka. Disebut rahasia besar, karena pernikahan yang menuntut seorang
pria lepas dari ayah dan ibunya, bersatu dengan isterinya, merupakan gambaran
bagaimana Kristus bersatu dengan jemaat. Dan baru dari kalimat inilah
muncul seluruh konklusi semua pembahasan di Efesus 5 yaitu, “Kasihilah
isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.”
Ketika seseorang membayangkan apa yang diungkapkan di Kej 2:24, itu
bukan berarti saat itu Adam juga memiliki orang tua (karena Adam dan
Hawa menjadi orang pertama yang dicipta), tetapi kalimat tersebut harus
dinyatakan disana karena melukiskan hubungan antara Kristus dengan
jemaat.
Ketika
dikatakan “Laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging,” disini
akan timbul beberapa hal: 1). Yang ditekankan Alkitab adalah pria, karena
sudah diasumsikan wanita akan meninggalkan orang tua ketika menikah (dalam
budaya maupun Alkitab, wanita tunduk dan mengikuti pria). Pernikahan
tidak pernah menggambarkan satu bentuk yang terbuka total (inklusif).
Bahkan dalam Yoh 17, kita juga melihat cara Tuhan Yesus berdoa yang eksklusif,
yaitu hubungan Kristus dengan umatNya. Maka dalam relasi pernikahan, pria
dan wanita harus terpisah dan dilepaskan dari semua bentuk ikatan lainnya
yang ada sehingga membentuk satu relasi yang eksklusif antara satu pria dengan
satu wanita.
Gambaran
dalam Ef 5:31-32 seringkali dianggap bukan untuk hubungan keluarga riil,
tetapi hanya sebagai figurasi untuk menceritakan hubungan antara Kristus dengan
jemaat. Maka seolah ide di dalam ayat 31 bisa ditiadakan dan yang penting adalah
pembicaraan mengenai relasi jemaat dengan Kristus. Disini ada beberapa dampak
dari hal diatas: pertama, struktur representasi menjadi terbalik
apabila hal seorang menikah dijadikan contoh hubungan Kristus dengan jemaat,
karena seharusnya hubungan Kristus dengan jemaat yang harus diaplikasikan
di dalam hubungan suami-isteri. Kedua, relasi Kristus dengan jemaat
sering dilihat hanya dalam aspek spiritual saja dan bukannya keluarga secara
fisik. Ayat tersebut secara keseluruhan membicarakan bagaimana suami berelasi
dengan isteri, maka ay. 32 tidak hanya dilihat dalam aspek spiritual tetapi
justru disitu Alkitab sedang benar-benar berbicara tentang relasi suami-istri.
Dan seharusnya urusan spiritual yang turun ke wilayah fisikal yaitu realita
hidup pernikahan.
2).
Gambaran dalam Ef 5:31 tidak boleh diekstrimkan bahwa mereka harus menjadi
musuh dari orang tua mereka. Rienecker memberikan satu penafsiran
bahwa hal itu seperti memutuskan ikatan-ikatan yang membelenggu sebelumnya
untuk dapat memasuki ikatan baru dengan isterinya secara eksklusif dan penuh.
Istilah “menjadi satu” menggunakan istilah “glue-ogether” (direkat
bersama-sama). Berarti yang ingin dinyatakan dalam pemikiran ini: Satu
ide yang konsisten di dalam seluruh pernikahan, yaitu bagaimana Kristus dengan
jemaat berelasi secara ekslusif. Maka ketika saya mengikat diri dengan
isteri saya secara eksklusif, itu harus mematahkan semua ikatan yang mengikat
saya sebelumnya sehingga ia menjadi mandiri dalam memasuki ikatan yang baru.
Karena ketika kita masih terikat dengan orang tua maka ikatan kita dengan isteri
kita tidak akan pernah menjadi ikatan yang eksklusif dan eksklusifitas di dalam
hubungan pernikahan tidak akan terjadi. Jikalau ikatan terhadap orang tua yang
diasumsi-kan paling dekat dengan kita harus dilepaskan, maka itu berarti
menggambarkan bahwa semua bentuk ikatan/belenggu yang lain harus dilepaskan
lebih dahulu.
3).
Seorang pria harus meninggalkan orang tuanya supaya tidak menjadi penghambat
perkembangan keluarganya.
Selanjutnya,
jikalau kita tidak mampu melepaskan diri dari orang tua, maka akan
menimbulkan dampak inklusif dalam keluarga: pertama, keluarga akan
mengalami bias kebijaksanaan, sehingga salah satu atau kedua pasangan tersebut
akan tertekan dan tidak bahagia. Seringkali orang tua merasa bahwa nasehat
mereka adalah yang paling baik dan harus diturut, padahal kita harus sadar
bahwa itu paling baik buat mereka, tetapi tidak untuk keluarga anaknya. Sebab
di dalam setiap keluarga mempunyai keunikkan tersendiri yang tidak sama
dengan keunikan kita. Hal kedua, orang tua seringkali living in the past.
Mereka mencoba memaksakan apa yang dulu mereka lakukan, kepada anak mereka,
sehingga akhirnya berdampak negatif dalam rumah tangga anaknya.
Kedua,
kita seringkali dibingungkan dengan istilah keluarga itu sendiri. Bahasa
Indonesia membedakan antara “keluarga dengan “keluarga besar,” namun dalam
prakteknya kita sulit membedakan antara keluarga dengan keluarga besar, terutama
dalam budaya timur. Alkitab mencatat bahwa pemisahan dilakukan untuk
membentuk “glue-together.” Maka proses ini akan terhambat apabila
pemisahan tidak dilakukan karena keluarga besar sangat rawan mengalami
interupsi dan intervensi dari pihak ketiga, dan akibatnya mereka tidak mampu menjadi
pengambil keputusan mutlak bersama. Ketiga, dalam tahap se-lanjutnya
akan terjadi krisis kepercayaan antar pasangan, yang berakibat fatal dalam
relasi keluarga. ketika suami-isteri sudah tidak dapat saling percaya,
saat itulah keluarga tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi (walaupun
mungkin secara fenomena masih bersama).
Maka
setiap suami-isteri harus membangun eksklusifitas keluarga yang merupakan
hal utama harus ada, dan itu
mengandung pengertian: 1). Kita harus memprioritaskan pertama dan
utama pasangan kita. Di dalam relasi suami-isteri seharusnya kita perlu
menghargai suami/isteri kita lebih di dalam prioritas relasi kita (prioritas
yang tertinggi), dan prinsip ini seharusnya dipelihara sejak hari pertama
pernikahan. 2). Ketika kita mulai menjalankan relasi, kita harus menghargai
setiap keputusan bersama, lebih dari keinginan orang lain terhadap
keluarga kita. dan ketika suami atau isteri kita tidak menyetujui suatu hal, hal
itu harus menjadi prioritas utama untuk kita dengarkan. 3). Disini kita juga
harus lebih mempercayai suami atau isteri kita daripada orang tua ataupun
relasi yang lain.
Di dalam Alkitab jelas sekali dikatakan bagaimana seorang pria harus mengasihi isterinya seperti dirinya sendiri dan seorang wanita yang hendaknya menghormati suaminya. Dan memang itulah yang akan menjadi lem yang paling rekat bagi relasi suami isteri, sehingga hubungan Kristus dan jemaat akan terpancar di dalam keluarga tersebut. Sehingga pernikahan itu akan masuk kedalam kebahagiaan yang sesungguhnya. Amin.?
(Ringkasan
khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)