Ringkasan
Khotbah : 4 Februari 2001
Obey
Your Parents!
Pengkhotbah
: Rev.
Sutjipto Subeno
Hari ini kita mulai masuk ke dalam hubungan antara
orang tua-anak. Seperti pada dua minggu lalu saya katakan, keluarga di
dalam pengertian sesungguhnya adalah suami-istri, dan dari relasi tersebut
memungkinkan dilahirkannya anak-anak, yang nantinya terjadi satu kaitan
kembali dengan keluarga tersebut hingga anak itu kelak akan terpisah dan
mendirikan keluarga sendiri. Dan sesuai dengan Ef 5:31 dan Kej 2 dikatakan: “Laki-laki
itu harus pergi meninggalkan ayahnya dan ibunya, dan bersatu dengan isterinya,
dan keduanya menjadi satu daging.” Maka sebelum anak itu dewasa dan
menikah, ia masih berada di dalam tanggung jawab dan bimbingan orang tua. Ini
alasan hubungan orang tua-anak menjadi bagian integral di dalam relasi
keluarga.
Firman
Tuhan dalam ayat tersebut pertama menegaskan mengenai bagaimana seharusnya
relasi orang tua dengan anak: “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di
dalam Tuhan,” atau lebih tepatnya: “Tunduklah kepada orang tuamu
di dalam Tuhan.” Dan dilanjutkan dengan: “Karena haruslah demikian.”
(terjemahan bebas: karena naturnya memang seperti itu). Jadi dengan kata
lain, Tuhan memang menciptakan hubungan orang tua anak begitu rupa
sehingga sudah sewajarnya seorang anak akan tunduk di dalam Tuhan. Kalimat
ini memberikan pada kita satu inside yang mendalam bagaimana seharusnya
sikap seorang anak dihadapan orang tuanya, namun juga sekaligus menjadi
pertanyaan bagi setiap orang tua. Hari ini, kondisi orang tua dan anak sedang
mengalami berbagai masalah yang sangat pelik. Di satu pihak kita melihat
adanya satu format, baik dalam budaya timur maupun barat dimana keluarga
muda yang seharusnya sudah terpisah dan independent masih
diacak-acak oleh orang tua dan mertua mereka. Namun dilain pihak kita
juga melihat satu tendensi yang sangat mengerikan, yaitu munculnya
anak-anak yang menjadi sangat kurang ajar, memberontak, kasar dan tidak
tahu sopan santun terhadap orang tua (seperti yang dikatakan dalam II Tim
3).
Kita
tanpa sadar sering terjebak dengan menganggap seorang anak itu seolah dapat
lepas begitu saja dan independent murni dari orang tua. Seperti yang dimengerti
banyak orang bahwa anak merupakan produk dari ciptaan Allah secara langsung
(ini sangat tidak Alkitabiah). Yang artinya: disuatu tempat Tuhan
mencipta dan menempatkan jiwa semua anak-anak, dan ketika ada seorang
ibu yang mengandung, ia hanya mengandung badan anak itu. Dan kemudian seekor
burung bangau akan membawa seorang anak (dari gudang tempat anak-anak itu
berada), dan akibatnya lahirlah seorang anak dari ibu tersebut. Dari pemikiran
seperti itu timbul anggapan bahwa antara anak dengan orang tuanya tidak
memiliki suatu hubungan karena mereka adalah hasil kreasi/penciptaan.
Tetapi Alkitab justru mengatakan bahwa Tuhan menciptakan anak-anak, yang menjadi
satu bagian representatif (toledot/keturunan), atau
dalam kitab Kejadian dan Matius dikatakan dengan kata memperanakkan.
Tuhan menetapkan kita sebagai keturunan Adam yang mengharuskan itu lewat
prokreasi dan bukannya kreasi, sehingga anak menjadi produk orang
tuanya dan membawa sifat/natur orang tuanya. Jalur representatif ini adalah
hal yang ditetapkan oleh Tuhan sejak pertama Ia menciptakan manusia karena
ini menuntut satu hubungan relasi yang seharusnya nanti dibangun dalam
struktur keluarga. Maka satu struktur keluarga yang sejati mengharuskan
anak-anak melihat ayah-ibunya sebagai orang tua karena dari situlah ia ada
dan berasal. Bahkan hal itu kemudian dikatakan sebagai kutipan langsung dari
Sepuluh Hukum Taurat yaitu, “Hormatilah
ayahmu dan ibumu di dalam Tuhan.”
Kalau
kita amati, hari ini baik anak maupun orang tua sedang dirusak oleh jaman.
Anak-anak dilatih dan diajar begitu rupa, baik melalui komik, film-film, dsb.,
sehingga akhirnya menjadi pemberontak-pemberontak terhadap orang tua.
Sehingga dapat kita bayangkan sekarang dimana anak-anak belajar berelasi dengan
orang tua bukan dari Firman Tuhan tetapi dari pergaulan dengan teman-teman
mereka, kebudayaan, dan buku-buku yang mereka baca. Alkitab dengan tegas
mengatakan bahwa seharusnya setiap anak-anak dididik sejak kecil
bagaimana ia belajar taat kepada orang tuanya, dan ini menjadi kunci penting
bagaimana ia membangun atitude. Dan hal diatas memberikan pada
kita beberapa gambaran:
Pertama,
ketaatan pada orang tua membentuk satu relasi penundukan diri (submitting
relationship). Relasi dimana kita merelakan diri untuk mau dengar orang
tua dan tahu masih ada otoritas/ordo yang lebih tinggi dari kita. Garis
otoritas ini sangat penting ditekankan pada seorang anak sejak ia lahir. Sebab
ketika seorang anak sudah tidak dapat taat pada orang tuanya maka disekolah
ia tidak akan tunduk terhadap gurunya, ketika bekerja ia tidak dapat
tunduk pada orang lain, dan bahkan akhirnya tidak dapat tunduk pada Tuhan.
Dan akibatnya ketika beriman ia tidak dapat beriman dengan sungguh-sungguh.
Namun dilain pihak, kita juga melihat orang tua yang tidak terlalu menekankan
ordo karena mereka sendiri bermasalah di dalam hal ini. Padahal sebagai anak
kita belajar tunduk dari orang tua. Bahkan yang sekarang sering terjadi
adalah banyak anak yang tidak pernah bertemu dan dididik oleh orang tuanya
karena yang mengasuh adalah baby sitter/pembantu. Memang orang
tua ada yang tidak memberikan hak mendidik kepada baby sitter/pembantu karena
beberapa alasan: 1. Baby Sitter tersebut akan berani menganiaya anak itu
tanpa sepengetahuan orang tuanya. 2. Jikalau kita memberikan hak mendidik
pada mereka, anak itu akan taat kepada mereka dan bukannya kepada orang
tuanya. Karena bagaimanapun cara orang tua anak tersebut mendidik pasti
akan berbeda dengan cara baby sitter mendidik. Namun jikalau baby sitter itu tidak
diberi hak sama sekali untuk mendidik, anak itu akan merasa boleh berbuat
apa saja dan mungkin menjadi sangat kurang ajar.
Disini
dapat kita bayangkan berapa keruwetan yang akan terjadi ketika orang tua mempermainkan
struktur ordo otoritas dan tidak bertanggung jawab di dalam pendidikan
anaknya. Kita harus sadar bahwa memprokreasi anak itu adalah bagaimana
kita memprokreasi dia bukan hanya secara fisiknya saja melainkan
juga rohaninya sehingga seluruh jiwa anak tersebut akan terbentuk utuh melalui
penundukkan kepada orang tua. Dalam Efesus 6:2 dikatakan, “Hormatilah
ayahmu dan ibumu.” Maka seharusnya pengalaman masa lalu yang
mungkin memberatkan, kelemahan hidup hari ini yang mungkin sangat manusiawi,
bukan alasan bagi kita untuk dapat berbuat semau kita kepada orang tua, karena
bagaimanapun juga mereka adalah orang tua kita.
Kedua,
penundukkan diri kepada orang tua di dalam struktur dependensi. Penundukan
dikarenakan kita bergantung mutlak kepada orang tua kita. Ini merupakan satu
natur, seperti yang Alkitab katakan, “Haruslah memang demikian.”
Hal inilah yang membedakan kita dengan binatang, karena binatang ketika
lahir, di dalam waktu yang singkat kebergantungannya kepada induknya tidak
terlalu besar. Namun lain halnya dengan manusia, sebab manusia bergantung
mutlak terhadap orang tuanya, jikalau tidak demikian ia akan mati. Sehingga
bagaimana seorang anak bergantung mutlak pada orang tuanya menunjukkan bagaimana
ia taat dan sekaligus menggambarkan kehidupannya yang sangat bergantung
pada orang tuanya, karena merekalah sumber kehidupannya. Lalu dari situ ia
mulai membangun struktur ketaatan dan ketika ia semakin besar,
kebergantungannya mulai dialihkan kepada Allah, yang dulunya difigurkan oleh
orang tuanya. Maka bagaimanapun juga ini merupakan satu keharusan yang Alkitab
tuntut supaya anak-anak mentaati orang tuanya di dalam Tuhan. Tetapi jikalau
orang tuanya tidak di dalam Tuhan, mereka menjadi kesulitan di dalam
menfigurkan diri sebagai contoh Allah yang memiliki cinta kasih yang
berkeadilan, berpemeliharaan dan yang mempunyai satu sikap berhak menjadi
tempat kita bergantung mutlak kepadanya.
Ketiga,
ketaatan kepada orang tua yang merupakan gambaran relasi figuratif. Ketika
seorang anak diharuskan taat kepada orang tuanya, itu karena orang tua kita masing-masing
merupakan model yang sesungguhnya di dalam Tuhan. Bagaimana orang tua kita hidup,
maka begitulah seharusnya kita hidup. Tetapi sekarang hal ini sangat sulit
diterapkan karena obyek daripada ketaatan dan figur kita digeser, sehingga
anak-anak tidak lagi menfigurkan ayah/ibunya melainkan menfigurkan artis-artis,
dsb. Anak-anak tidak lagi mengerti siapa yang seharusnya menjadi contoh figur
bagi hidupnya. Ini adalah berhala (idol) yang merebut figur orang tua
dari tangan orang tua. Saya rindu kita boleh belajar kembali mencoba melihat
ayah ibu kita sebagai figur yang boleh kita teladani, karena mereka adalah orang
yang paling dekat dengan kita dan contoh teladan yang terbaik, sebab
disitulah gambaran hidup dan budaya yang paling cocok dengan kita. Dan sudah
seharusnya kita memiliki rasa bangga terhadap orang tua kita.
Alangkah baiknya apabila ayah kita adalah seorang anak Tuhan yang setia dimana kita juga belajar imannya, ketaatannya dan kesetiaanya di dalam mengikut Tuhan, sehingga itu menjadi figur yang kita harapkan dapat menurun ke dalam diri kita. Bagi kita yang akan menjadi orang tua dan yang sudah menjadi orang tua saya harapkan kita semua belajar bagaimana kita menjadi figur bagi anak-anak kita. Bagi kita yang masih menjadi anak, mari kita belajar untuk taat kepada orang tua kita. Maka struktur yang menjadi satu gambaran dimana penurunan pemuridan dapat terjadi di dalam keluarga kita. Saya harap ini menjadi tolok ukur seperti yang Alkitab gambarkan bahwa keluarga Kristen adalah keluarga yang indah dimana kita belajar hidup taat, lalu menjadi saksi di tengah dunia. Mari kita mulai dari diri kita. Amin.?
(Ringkasan khotbah ini
belum diperiksa oleh pengkhotbah)